Ulos
adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan
ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara
seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak
yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong.” Ulos pangihot ni holong, yang
artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih
sayang diantara sesama.
Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk
menghangkan badan, tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk
hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’
sendiri - sendiri, artinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan
hubungan dengan hal atau benda tertentu.
Dalam
pandangan suku Batak, ada tiga unsur yang mendasar dalam kehidupan
manusia, yaitu : Darah, Nafas, dan Panas. Dua unsur terdahulu adalah
pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian. Panas yang
diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin
dipemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu malam.Menurut
pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada
manusia, yaitu : Matahari, Api dan Ulos.
Pada jaman dahulu
sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian
sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “Hande -
Hande” sedang bagian bawah disebut “Singkot” kemudian bagian penutup
kepala disebut “Tali - Tali” atau “Detar”.
Bia dipakai perempuan,
bagian bawah hingga batas dada disebut “Haen”, untuk penutup pungung
disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “Ampe -
Ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “Saong”.
Apabila
seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “Hohop
- Hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “Parompa”. Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bisa kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak
semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya
Ulos Jugia, Ragi Hidup, Ragi Hotang dan Runjat. Biasanya adalah simpanan
dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Bagi awam dirasa
sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis
benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah
proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk
memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon)
dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan
ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu
diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam
kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi
dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge)
dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna
hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini
disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum
dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada
bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu
proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan
waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang
sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang
tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu,
lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini
disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali
atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan
sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar
benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi
hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang
dikeringkan.Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis
warna. Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan
setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah
“mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk
proses penenunan. Bila kita memperhatikan ulos
Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang
tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti
telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang
membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu.
Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya
diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang
dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah
lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan
yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi
atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup
mampu bertenun segala jenis ulos Batak
Jenis Ulos
1.Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga “Ulos Naso Ra Pipot atau “Pinunsaan”.
Biasanya
ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos
“homitan” yang disimpan di “Hombung” atau “Parmonang - Monangan”
(berupa lemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak,
ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang
sudah “Saur Matua” atau kata lain “Naung Gabe” (orang tua yang sudah
mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama
masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan
walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua
tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur
matua. Hanya orang yang disebut “Nagabe” sajalah yang berhak memakai
ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah
ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
2. Ulos Ragi Hidup
Ulos
ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini
adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat
pemakainya dalam upacara adat Batak . Ulos ini
dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun
upacara suka cita dan juga dapat dipakai oleh Raja - Raja maupun oleh
masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “Mangupa
Tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini
juga dipakai oleh Suhut Si Habolonan (Tuan Rumah). Ini yang
membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu”
disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak.
Kelompok Satu Marga ( Dongan Tubu) adalah kelompok “Sisada Raga - Raga
Sisada Somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan
“Martanda Do Suhul, Marbona Sakkalan, Marnata Do Suhut, Marnampuna Do
Ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan
bersama, hak yang punya hajat (Suhut Sihabolonan) tetap diakui sebagai
pengambil kata putus (putusan terakhir). Dengan memakai ulos ini akan
jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini
berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan
secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah
dengan orang yang berbeda. Kedua Sisi Ulos Kiri dan Kanan (Ambi)
dikerjakan oleh dua orang. Kepala Ulos Atas Bawah (Tinorpa) dikerjakan
oleh dua orang pula, sedangkan bagian Tengah atau Badan Ulos (Tor)
dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang.
Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu
kesatuan yang disebut Ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan
cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu
menurut “Hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari
pertama) selesai di Tula (Hari Tengah Dua Puluh).
Bila
seorang tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang
sulung sedang yang lainnya memakai ulos “Sibolang”. Ulos ini juga sangat
baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada
cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai Ulos Ragi Hidup sama
dengan Ulos Jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya
diberikan sebagai Ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki)
dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan
didaerah Simalungun Ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum
wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan
kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan
pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (Hotang).
Cara
pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah
kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan
ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti
terikat.
Pada
jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap
paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak)
tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna
warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di
Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai Panjangki / Parompa
(gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk
mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih
diatas piring besar (Pinggan Godang Burangir / Harunduk Panurduan).
Aturan
pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di
Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini
sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan
bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi
sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke
daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh
orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “Edang - Edang” (dipakai
pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada
pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (Tohonan) Dalihan Natolu
diluar Hasuhutan Bolon, misalnya oleh Tulang (paman), Pariban (kakak
pengantin perempuan yang sudah kawin), dan Pamarai (pakcik pengantin
perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “Mangupa - Upa”
dalam acara pesta gembira (Ulaon Silas Ni Roha).
Kelima jenis
ulos ini adalah merupakan ulos Homitan (simpanan) yang hanya kelihatan
pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak
perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa
bulan purnama (Tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat
dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka
cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila
dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam
acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos
“Saput” atau ulos “Tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh
dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya
dipakai sebagai “Tutup Ni Ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi
dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut
“Ulos Pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa
adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya
relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak
lajim dipakai sebagai ulos Pangupa atau Parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya
disebut saja ulos Suri - Suri, berhubung coraknya berbentuk sisir
memanjang. Dahulu ulos ini dipergunakan sebagai Ampe – Ampe / Hande -
Hande. Pada waktu Margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai Hula -
Hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai
“Ulos Tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita
sebagai Sabe - Sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya
melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai Ampe - Ampe bisa mencapai dua
kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai
layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring
Ulos ini
mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan
dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos
parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan
lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring
dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari
dalam bentuk Tali - Tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita
juga dapat dipakai sebagai saong (Tudung). Pada waktu upacara “Mampe
Goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai Bulang -
Bulang, diberikan pihak Hula - Hula kepada menantu. Bila Mampe Goar
untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang Maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos
ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang
teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan
sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “Sinadongan” (kekayaan)
atau Hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada
dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat
dipakai sebagai Hande - Hande (Ampe - Ampe), juga dapat dipakai sebagai
Tali - Tali atau Saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos
Mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho - Bolean.
Ulos
ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita.
Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak
yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai
sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos
panoropi yang diberikan Hula - Hula kepada boru yang sudah terhitung
keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer
tiga, merupakan “Tuho” atau “Tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang
tanah guna menanam benih.
11. Ulos Jungkit.
Ulos ini
jenis ulos “Nanidondang” atau ulos Purada (permata). Purada atau permata
merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh
para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk Hoba - Hoba yang dipakai
hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada
waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, Purada atau permata ini
dibawa oleh saudagar - saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada
pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan.
Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara
“Manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir
mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses
pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka,
maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya
baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain
songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai
pengganti ulos Nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu
bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu - Lobu.
Jenis
ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya,
karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang
yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah
diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya
orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan
rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “Giun
Hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini
kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar
nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak
lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi
Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar,
Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos
Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi
nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis
ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos
mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu
tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan Hiou, Ois,
Obit Godang atau Uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang
Batak.
Tata Cara Pemberian Ulos (Mangulosi)Dikalangan
orang batak sering terdengar ‘Mengulosi’ yang ertinya memberi Ulos,
atau menghangatkan dengan ulos. Dalam kepercayaan orang-orang Batak,
jika (Tondi) pun perlu diulos, sehingga kaum lelaki yang berjiwa keras
mempunyai sifat-sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan orang perempuan
mempunyai sifat-sifat ketahanan untuk melawan guna - guna dan
kemandulan.
Dalam hal mangulosi, ada aturan yang harus dipatuhi,
antara lain orang hanya boleh mengulosi mereka yang menurut kerabatan
berada dibawahnya, misalnya orang tua boleh mengulosi anak, tetapi anak
tidak boleh mengulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatan Batak
yang disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur Hula -
Hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru sama sekali tidak
dibenarkan mengulosi hula - hulanya. Ulos yang diberikan dalam mengulosi
tidak boleh sembarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.
Penerima Ulos
Menurut
tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos
sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “Na
Marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu.
Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “Parompa” dahulu
dikenal dengan ulos “Paralo - Alo Tondi”. Yang kedua diterima pada waktu
dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “Marjabu”
bagi kedua pengantin (saat ini disebut ulos “Hela”). Seterusnya yang
ketiga adalah ulos yang diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut
ulos “Saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada
dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir
tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut
anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang
lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak
sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja
(mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari
seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping
sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar
ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang
diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (Ompung Bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk
point pertama, maka pihak Hula - Hula hanya menyediakan dua buah ulos
yaitu ulos Parompa untuk sianak dan ulos Pargomgom Mampe Goar untuk
ayahnya. Untuk sianak sebagai Parompa dapat diberikan ulos Mangiring dan
untuk ayahnya dapat diberikan ulos Suri - Suri ganjang atau ulos
Sitoluntuho.
Untuk point kedua, Hula - Hula harus menyediakan
ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos Parompa untuk sianak, ulos Pargomgom
untuk ayahnya, dan ulos Bulang - Bulang untuk ompungnya.
Seiring
dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata - kata yang mengandung
harapan agar kiranya setelah dia nanti besar dapat memperoleh berkah
dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui Umpama (pantun). Pihak
Hula - Hula memberikan ulos dari jenis ulos Bintang Maratur, tetapi bila
hanya sekedar memberi ulos Parompa boleh saja ulos Mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam
waktu upacara perkawinan, pihak Hula - Hula harus dapat menyediakan
ulos “Si Tot Ni Pansa” yaitu; 1. Ulos Marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos
Pansamot / Pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos
Pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki
atau saudara kandung ayah, 4. Ulos Simolohon diberikan kepada Iboto
(adek / kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka
ulos ini dapat diberikan kepada Iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut
sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh
pihak Hula - Hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos
Tutup Ni Ampang diterima oleh Boru Diampuan (Sihunti Ampang) hanya bila
perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (Dialap
Jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki
(Ditaruhon Jual) ulos Tutup Ni Ampang tidak diberikan.
Sering
kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh
keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “Ragi - Ragi Ni
Sinamot”. Biasanya yang mendapat Ragi Ni Sinamot (menerima sebahagian
dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun)
dalam suku Batak disebut “Malo Manapol Ingkon Mananggal”. Pantun ini
mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi
dengan adanya istilah Rambu Pinudun yang dimaksudkan semula untuk
mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “Goli - Goli”
dari Ragi - Ragi Ni Sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya
(Margoli - Goli) sehingga undangan umum (Ale - Ale) dengan dalih istilah
“Ulos Holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata Cara Pemberian Ulos
Sebuah
ulos (biasanya Ragi Hotang) disediakan untuk pengantin oleh Hula -
Hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (Manguloshon)
kepada kedua pengantin yang disebut “Ulos Marjabu”. Apabila orang tua
pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak
memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki
yang diwakilkan, maka ulos Pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan
ulos Pargomgom (untuk Pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang
biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai
(ulos Pasamot dan ulos Pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya
diiringi dengan berbagai Pantun (Umpasa) dan berbagai kata - kata yang
mengandung berkah (Pasu - Pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian
beras Pasu - Pasu (Boras Sipir Ni Tondi) ditaburkan termasuk kepada
umum dengan mengucapkan “H O R A S” tiga kali.
Selanjutnya
menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang
mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata -
kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos Si Tot Ni Pansa
kepada Pamarai dan Simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh
Suhut Paidua (keluarga / turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari Tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata Cara Urutan Pemberian Ulos adalah sebagai berikut;
1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan,
2. Baru disusul oleh pihak Tulang pengantin perempuan termasuk Tulang Rorobot,
3. Kemudian disusul pihak Dongan Sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut Paidua (Pamarai),
4. Kemudian disusul oleh oleh Pariban yaitu Boru dari orang tua pengantin perempuan,
5.
Dan yang terakhir adalah Tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya
diberikan bahagian dari Sinamot yang diterima Parboru dari Paranak dari
jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak Parboru dan 1/3 dari
Paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan
kepada Tulang / paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “Tintin
Marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos
yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah
ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status
memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat
diterimanya.
Jika seseorang mati muda (Mate Hadirianna) maka ulos
yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “Parolang - Olangan” biasanya
dari jenis Parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga
(Matipul Ulu, Marompas Tataring) maka kepadanya diberi ulos “Saput” dan
yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “Tujung”.
Bila yang
mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan
keadaan (Sari / Saur Matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “Jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (Martilaha Martua).
Khusus
tentang ulos Saput dan Tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya.
Menurut para orang tua, yang memberikan Saput ialah pihak “Tulang”,
sebagai bukti bahwa Tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan
(Bere nya).
Sedang ulos Tujung diberikan Hula - Hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila
yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara
pemberian Saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah
berkeluarga, setelah Hula - Hula mendengar khabar tentang ini,
disediakanlah sebuah ulos untuk Tujung dan pihak tulang menyediakan ulos
Saput. Pemberiannya diiringi kata - kata turut berduka cita (Marhabot
Ni Roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara
membuka (Mengungkap) Tujung yang dilakukan pihak Hula - Hula. Setelah
mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan Mengungkap Tujung,
tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula
- Hula menyediakan beras di piring (Sipir Ni Tondi), air bersih untuk
cuci muka (Aek Parsuapan), air putih satu gelas (Aek Sitio - Tio).
Pelaksanaan acara Mengungkap Tujung umumnya dibuat pada waktu pagi
(Panangkok Ni Mata Ni Ari). Setelah pihak Hula - Hula membuka Tujung
dari yang Balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (Marsuap). Anak-anak
yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan
penaburan beras diatas kepala yang Balu dan anak-anaknya.
Memberi Ulos Panggabei.
Bila
seseorang orang tua yang Sari / Saur Matua meninggal dunia, maka
seluruh Hula - Hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei.
Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi
kepada seluruh turunannya (Anak, Pahompu, dan Cicit). Biasanya ulos ini
jumlahnya sesuai dengan urutan Hula - Hula mulai dari Hula - Hula, Bona
Tulang, Bona Ni Ari, dan seluruh Hula - Hula anaknya dan Hula - Hula
cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini
biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari
acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak
kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah
Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak Hula - Hulalah
yang memberikan ulos kepada Parboru / Boru (dalam perkawinan). Tetapi
diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang
memberikan ulos kepada Kula - Kula (Kalimbubu) atau Mora. Perbedaan
spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara
adat.
Semua pelaksanaan adat Batak dititik beratkan sesuai
dengan “Dalihan Na Tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang
pengertiannya dalam adat Batak ialah Dongan Tubu, Boru, Hula - Hula
harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah :
1. Pihak Hula - Hula (Tulang, Simatua / Mertua, Bona Tulang, Bona Ni Ari, dan Tulang Rorobot).
2. Pihak Dongan Tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan).
3. Pihak Pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale
- Ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos,
sebenarnya adalah diluar Tohonan Dalihan Na Tolu (pemberian Ale - Ale
tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan
lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak
memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.
Tag : Jenis – Jenis Ulos Batak
Related Post : Dalihan Natolu Sumber Hukum Adat Batak, Parjambaran Di Ulaon Unjuk Dohot Sari, Ruma Batak dan Gorga Batak
Sumber : http://sinagaharryanto.blogspot.com/2008/12/mengenal-ulos-batakpakaian-adat-batak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pos kan komentar anda !